Kala itu tahun 2020. Saya, Abdi dan beberapa rekan
menuju Buloe, Kecamatan Maniangpajo. Niatannya, menemani Abdi bertamu di rumah
salah satu maestro passureq, Indo Masse.
Beliau bermukim di Jl. Macanang bersama suami, anak dan
cucunya. Kediamannya sering jadi tempat istirahat bagi mahasiswa-mahasiswa yang
meneliti seputar sureq. Tidak jarang beberapa dari mereka yang ingin pandai massureq,
menetap untuk kurun yang cukup lama di kediaman beliau.
Sejujurnya saya sedikit malu. Saya yang notabene satu
daerah dengan beliau, baru mendengar namanya. Padahal kediaman beliau dengan
rumah saya berada di kecamatan yang sama. Jarak antara rumah kami tidak terlalu
jauh. Hanya butuh waktu 5 menit berkendara.
Tidak sulit menemukan kediaman beliau. Beliau dikenal
baik oleh warga sekitar. Warga yang kami tanya dapat langsung menuntun kami ke
rumah Indo Masse.
Kala itu, kolong rumah beliau cukup ramai. Terlihat
beberapa orang sedang asik ngobrol di atas panrung. Saya mendekat, dan
bertanya. “Tabe, tega akkue bolana Indo Masse?”.
“Iyenae”, jawab salah satu di antara mereka. Saya pun
memperkenalkan diri. Juga menyebutkan nama ibu saya. Kebetulan ibu saya pernah
bertugas di daerah itu. Sebelum ke sana, saya sempat mengonfirmasi kepada ibu
saya perihal Indo Masse. Ibu saya bilang, mereka berkenalan dengan baik. Ini juga
yang membuat saya sedikit percaya diri mencatut namanya.
Ternyata perempuan yang menjawab pertanyaan kami adalah
Indo Masse. Setelah mendengar pengantar dari kami, beliau mengatakan jika
dirinyalah yang kami cari. Beliau lalu mempersilahkan kami ke atas rumah.
Karena sudah tahu maksud kedatangan kami, salah satu
puterinya mengambil bantal, buku catatan, jilbab dan sarung. Jilbab dan sarung
itu ia kenakan, lalu catatan itu diletakkan di atas bantal. Catatan itu berisi
tulisan tangan huruf lontarak. Rangkaian tulisan lontarak itu adalah episode-episode
sureq I Galigo yang biasa beliau bacakan di pentas maupun hajatan tertentu.
Atas permintaan Abdi, beliau mulai massureq. Kala itu
beliau membacakan bait episode “Mula Tau” dan “Meongmpalo Karellae”. Beliau menyebutkan
kata demi kata dengan langgam yang berpola. Diksi yang beliau dendangkan
membuat wajah Abdi sumringah. Entah makna dan realitas apa yang ia saksikan. Sedangkan
saya hanya diam mendengarkan dalam ketidakpahaman.
Dari raut wajahnya, terlihat keinginannya untuk
mendendangkan bait demi bait dalam durasi yang lama. Namun, usianya yang senja
tak bisa mengelak. Suaranya terdengar lelah. Nafasnya terengah. Beliau
berhenti.
Abdi bereaksi. Ia meminta izin untuk mencoba
mendendangkan bait sureq yang baru dibacakannya. Dengan dituntun Indo Masse,
Abdi mencoba beberapa bait. Kami yang tidak mengerti satu diksi pun, hanya
bertanya seputar kulit-kulit sureq itu. Bagaimana pandangan beliau terhadap
sureq, dan kapan sureq itu dibacakan serta faedahnya seperti yang diyakini oleh
kelompok masyarakat tertentu.
Meski pertemuan itu terbilang singkat, beliau
meninggalkan kesan yang sangat baik. Beliau menjamu kami sebagaimana seharusnya
tamu diperlakukan. Beliau benar-benar maestro yang sederhana dan bersahaja.
Sore ini, melalui lini masa, Gurunda Prof.Nurhayati
mengabarkan berita kepulangannya. Innalillahi wa Inna ilayhi rajiun.
Semoga beliau husnul khatimah. Anak - cucu beliau yang
telah mewarisi ilmu dan kemampuannya, semoga dapat melanjutkan perjuangannya.
Alfatihah
Penulis,
A.Achmad Fauzi Rafsanjani | fauzilisan17@gmail.com
No comments:
Post a Comment